Toni, Cinta Kasihnya Pada Ibu
Rumah
mungil, di pinggiran kali. Rumah kumuh,
yang siap hancur diterjang banjir. Aku adalah Toni, dan Ibuku bernama
Fatimah. Ayahku sudah sejak kecil meninggalkan keluarga ini, Ibuku bilang,
ayahku itu seorang biadab, yang tak punya rasa kasih sayang. Hmm, entah apa
yang Ibuku alami di masa lalunya, hingga membuat Ibuku begitu benci pada sosok
ayah.
Aku
adalah siswa kelas empat SD, dan Ibuku hanya seorang pemulung sampah. Banyak
dari teman-temanku yang menghina pekerjaan Ibuku, buat mereka pekerjaan Ibuku
itu sangat menjijikan, kotor, dan bau. Walau faktanya memang seperti itu, namun
bagi Ibuku, pekerjaan ini pekerjaan yang mulia. Menurut Ibuku, jika di Kota
besar seperti Jakarta ini tidak ada
pemulung, apakah sampah-sampah
berserakan dipinggir jalan akan menghilang? Tidak menurut Ibuku. Menurut Ibuku,
warga kota jakarta itu aneh, mereka berfikir mereka berpendidikan, tapi hanya
untuk masalah sampah kecil saja, mereka masih membuang di sembarang tempat.
Jadi, kalau saja sosok Ibuku tidak ada di Jakarta, mungkin setiap jalan yang
ada di Jakarta, akan dipenuhi dengan sampah-sampah plastik, aqua, kertas, atau
mungkin sampah dapur.
Setiap
pagi, jam lima subuh, aku sudah bersiap-siap untuk sekolah. Namun, sebelum
sekolah, aku sudah harus berjualan koran, hitung-hitung membantu menambahkan
penghasilan Ibuku. Setelah menjual koran, aku langsung ganti pakaianku dengan
seragam sekolah, malum, pakaianku sudah kusam dan lusuh, jadi aku tak mau
menambah kotor pakaianku sebelum masuk sekolah.
Tak
banyak dari teman-teman yang menghina seragamku. Mereka bilang, bajuku aneh,
warnanya kuning, bukan putih, mereka bilang, celanaku seperti celana renang, kependekan, dan sepatuku,
mereka bilang juga, lapar, selalu mangap. Memang penghinaan yang menyakitkan
buatku. Tapi, buatku, sekolah bukan masalah bagus atau tidaknya seragam, tapi
niat dan hati kita yang tertuju pada sekolah.
Bel
sekolah berbunyi, waktu pulang pun tiba, dan anak-anak bersorak ria. Bagi
mereka, waktu pulang adalah waktunya main, namun bagiku, waktu pulang waktunya
aku membersihkan jakarta. Setelah pulang sekolah aku langsung membantu Ibuku
untuk memungut sampah. Ibuku selalu menungguku di luar gerbang sekolah. Setelah
melihat Ibu, aku langsung melepas seragamku, dan memasukkannya di tas. Walau
teriknya panas matahari menusuk kulit-kulit coklat ku ini, aku tidak peduli,
buatku, kebahagiaan Ibuku lebih utama, dibandingkan dengan penderitaanku ini.
Satu
per satu sampah aku pungut, begitupun
dengan ibuku. Mencungkil gelas minuman dengan alat bantu, Merogok tangan ke
tempat sampah, melihat-lihat apakah ada yang bisa diambil, dan jika menemukan
makanan kamipun langsung mengambilnya sebagai bekal makan siang.
Sebenarnya
Ibuku tak tega melihatku seperti ini. Sering kali Ibuku melarang aku ikut
memungut sampah, tapi aku yang tak tega dengan Ibuku. Ibuku sudah rentan,
terkadang ia harus menahan sakit pada punggungnya saat membawa gerobak sampah
kami. Itu sebabnya aku ikut, jika
punggung Ibuku merasakan sakit, aku yang akan membawa gerobak tersebut.
Matahari
mulai memerah, sore telah tiba, dan ini waktunya kami harus pulang. Sebelum
sampai rumah, kami harus membawa hasil pungutan kami ketempat pendaur ulang,
merekalah yang akan membeli sampah-sampah plastik kami ini. Tak jarang, hasil
pungutan kami hanya laku lima ribu rupiah saja, jika memang lagi beruntung,
kami bisa menhasilkan tujuh sampai sepuluh ribu rupiah saja. Tapi itu hanya
sesekali saja.
Setelah
menjual hasil pungutan kami, aku dan Ibuku langsung pulang. Aku bergegas ke
kamar mandi, dan Ibuku langsung belanja untuk membeli tahu ataupun tempe. Lauk
seadanya, namun menjadi lauk termahal buat kami.
Azan
magrib berkumandang. Aku dan Ibuku langsung bersiap-siap untuk solat berjamaah
di musola. Setelah selesai solat, aku dan Ibuku beristirahat di rumah. Karena
besok hari libur, malam ini aku bisa bebas untuk belajar, dan aku bisa
bermalas-malasan di rumah. Saat aku sedang melihat-lihat bintang di depan
rumah, tiba-tiba mengahmpiri aku, dan langsung duduk di sampingku. Ibuku
langsung bertanya padaku,
“Ton,
kamu tau hari ini hari apa?”
“Toni
tau ko Bu, Hari ini hari Ibu kan.”
“Iya,
terus Toni ingin memberikan Ibu apa untuk sembilan tahun ini merawat kamu?” Ibu
menagih sesuatu dariku.
“Hmmm,
...” Menghela nafas sejenak.
“Sebelumnya toni ingin
berterima kasih pada Ibu, karena Ibu
sudah merawat Toni hingga sekarang. Toni tau, perjuangan
Ibu
merawat Toni tidak mudah. Saat toni
sakit, Ibu berusaha mencarikan duit untuk membeli obat. Saat Toni
sedih, Ibu berusaha menjadi teman Toni yang selalu
menenangkan hati Toni. Saat di rumah ini hanya ada nasi sedikit, ibu membiarkan Toni
mengisi perut, sedangkan Ibu berusaha
menyembunyikan lapar yang sudah menyerang perut Ibu.
Semua perjuangan Ibu tak bisa Toni bayar dengan
uang, karena Toni juga tidak memiliki uang. Toni juga tidak
bisa memberikan hadiah sebuah perhiasan yang mungkin banyak dari kaum Ibu
yang ingin memilikinya. Tapi Toni tau, apa yang
mesti Toni berikan pada Ibu! Sesuatu
yang lebih mahal nilainya dari uang dan lebih indah dari perhiasan.
“Apa
itu Ton?” Ibu bertanya penasaran.
“Toni akan terus memberikan kasih sayang dan cinta Toni
terhadap Ibu, samapai akhir hayat Toni.
“Kesini nak, duduk dipangkuan Ibu, kau
memang anakku. Kasih sayang dan cintamu akan selalu Ibu
simpan di dalam hati Ibu. Terima kasih anakku,” Sambil meneteskan air mata, dan membisikkan telingaku.
“Makasih
Ibu,” Akupun tersenyum, dan menikmati lembutnya belaian seorang Ibu.
Posting Komentar untuk "Toni, Cinta Kasihnya Pada Ibu"